Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gangguan Perilaku Wandering Pada Penderita Demensia

Tahukah anda apa itu perilaku wandering? Perilaku wandering biasanya terjadi pada lansia yang menderita demensia. Lalu apa itu demensia?

Pada tulisan kali ini, saya akan membahas mengenai perilaku wandering yang seringkali terjadi pada lansia penderita demensia. 

Demensia merupakan  gejala penurunan kondisi fungsi otak akibat dari proses penuaan. Biasanya terdapat beberapa gangguan yang terjadi pada lansia demensia baik itu gangguan psikologis maupun gangguan perilaku. 

Salah satu gangguan perilaku pada penderita demensia adalah perilaku wandering. 

Perilaku wandering merupakan kelainan perilaku pada lansia yang melakukan gerakan-gerakan tanpa tujuan yang jelas seperti mondar-mandir, melakukan gerakan yang berulang-ulang, bahkan ada yang kabur dari rumah. 

perilaku wandering pada penderita demensia

Pernahkan anda mendengar atau membaca berita tentang seorang kakek/nenek yang tersesat di suatu tempat atau daerah dan tidak tahu tujuannya kemana begitupun tidak tahu harus pulang kemana.  

Hal itu merupakan suatu gejala bahwa lansia tersebut sedang menderita demensia dengan gangguan perilaku wandering. 

Pembahasan topik ini akan saya bagi menjadi dua bagian.

Saya akan membahas mengenai demensia terlebih dahulu.Bagaimana gejala, penyebab dan jenis-jenis dari demensia. Selain itu, saya juga akan membahas mengenai diagnosis, pengobatan dan cara mencegah demensia.

Selanjutnya saya akan membahas mengenai perilaku wandering, penyebab, klasifikasi dan profil lansia yang memiliki gangguan perilaku wandering. Bagian akhir tulisan ini, saya akan membahas cara melakukan assesment dan intervensi perilaku wandering.

Mari kita mulai pembahasannya.

Demensia

Semua orang yang diberi umur panjang oleh Tuhan YME tentu akan mengalami masa tua, bukan? Sekuat apapun anda menggunakan anti-aging (penuaan) tetap saja akan menjadi tua dan keriput. 


Pada masa lansia seringkali terdapat gangguan demensia atau penurunan fungsi otak seperti berkurangnya daya ingat, pikiran dan bahasa. Saya yakin anda tidak akan mau mengalami gangguan tersebut ketika nanti memasuki masa tua/lansia.

Begitu juga apabila anda masih memiliki orangtua (ayah/ibu, kakek/nenek) pasti tidak akan mau anggota keluarganya mengalami gangguan demensia. Alasannya sederhana, pada masa tua penurunan kemampuan fisik sudah pasti tidak akan bisa dihindari tentunya anda tidak ingin ditambah dengan penurunan fungsi otak. 

Anda pasti tidak mau memasuki masa lansia yang tidak berdaya secara fisik dan psikologis. 

Definisi Demensia  

Istilah demensia berasal dari bahasa asing  yaitu emence. Pikun merupakan gejala yang terjadi pada lansia. Termasuk gangguan otak kronis. Biasanya berkembang secara perlahan, dimulai dari gejala depresi yang ringan atau kecemasan yang kadang-kadang disertai oleh kebingungan. Kemudian menjadi parah diiringi dengan hilangnya kemampuan intelektual atau demensia.

Jadi, istilah pikun yang sering dipakai oleh kebanyakan orang istilah ilmiahnya adalah demensia. 

Saat ini, penjabaran tentang demensia adalah kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan.

Berdasarkan wikipedia, demensia merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsional yang seringkali disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak. 

Demensia adalah kumpulan penyakit dengan gejala-gejala yang mana mengakibatkan perubahan pada pasien dalam cara berpikir dan berinteraksi dengan orang lain.

Demensia menurut alodokter adalah sebuah sindrom yang berkaitan dengan penurunan kemampuan fungsi otak, seperti berkurangnya daya ingat, menurunnya kemampuan berpikir, memahami sesuatu, melakukan pertimbangan dan memahami bahasa serta menurunnya kecerdasan mental. Sindrom ini umumnya menyerang orang-orang lansia di atas 65 tahun.  

Kita simpulkan bahwa demensia merupakan suatu gangguan fungsi daya ingat dan kognitif yang terjadi perlahan– lahan, dan dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan sehari–hari orang yang terkena. 

Gangguan kognitif (proses berpikir) tersebut adalah gangguan mengingat jangka pendek dan mempelajari hal – hal baru, gangguan kelancaran berbicara  misalnya sulit menyebutkan nama benda dan mencari kata – kata untuk diucapkan, keliru mengenai tempat, waktu, orang atau benda, sulit hitung menghitung, tidak mampu lagi membuat rencana, mengatur kegiatan, mengambil keputusan, dan lain – lain.

Penyebab Demensia

Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa demensia merupakan  penurunan  daya ingat, kemampuan berpikir, dan penurunan kemampuan bahasa. Lantas apa yang menjadi penyebab dari gangguan demensia tersebut.

Kerusakan sel-sel otak menjadi penyebab utama terjadinya demensia sehingga komunikasi antar sel menjadi terganggu. Akibatnya muncul gejala gangguan perilaku dan perasaan sesuai dengan area otak yang mengalami kerusakan.

Terdapat beberapa bagian dalam otak yang memiliki fungsi berbeda-beda misalnya ingatan, gerakan dan pertimbangan. Apabila salah satu sel tersebut rusak, maka otak tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal.

Faktor genetik juga memiliki peranan penting terjadinya demensia. Selain itu, lingkungan juga memberikan sumbangan yang besar terhadap faktor resiko demensia. 

Faktor lingkungan berkaitan dengan gaya hidup. Gaya hidup yang tidak sehat merupakan faktor resiko utama dari berbagai penyakit seperti stroke, penyakit jantung, hipertensi dan diabetes melitus. Penyakit tersebut merupakan faktor resiko yang paling besar menyebabkan terjadinya demensia.

Gejala Demensia

Demensia diawali adanya kemunduran fungsi otak terutama daya ingat. Demensia bukan berarti hilang ingatan tetapi berkurangnya kemampuan daya ingat seseorang yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit atau kerusakan otak. 

Pada awal terjadinya demensia biasanya ditandai oleh beberapa gejala berikut ini.
  1. Berkurangnya daya ingat/memori. Ini merupakan gejala umum yang terjadi pada penderita demensia. Penderita biasanya lupa pada kegiatan yang sebenarnya baru terjadi. Misal: penderita demensia lupa mengenal wajah anaknya padahal ia sedang mengobrol dengan anaknya tersebut.
  2. Kesulitan dalam berkonsentrasi. Penderita mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap sesuatu. Misalnya kesulitan untuk menghitung angka dari1-100.
  3. Sulit berkomunikasi dengan orang lain. Ini ditandai dengan kondisi penderita yang mengalami kesulitan untuk menyapaikan sesuatu. Penderita biasanya mengalami kesulitan dalam memilih kata-kata yang ingin disampaikan.
  4. Sulit melakukan kegiatan sehari-hari. Saat masih sehat, kegiatan sehari-hari seperti menyapu, mencuci, atau memasak merupakan aktivitas yang rutin dilakukan setiap harinya. Ketika memasuki usia lanjut dan menderita demensia aktivitas-aktivitas tersebut seringkali sulit untuk direncanakan dan diselesaikan.
  5. Disorientasi atau kebingungan. Penderita demensia biasanya mengalami disorientasi atau kebingungan sehingga ia kerap kali tidak tahu dimana keberadaannya. Oleh karena itu, seringkali kita temukan lansia yang kesasar dan tidak tau jalan untuk pulang sebagai akibat dari demensia.

Pengobatan

Sebenarnya tidak ada obat secara khusus yang dapat memperlambat atau menghentikan perkembangan demensia. Hanya saja ada beberapa hal yang dapat memperbaiki gejala terjadinya demensia tersebut. 

Mengubah gaya hidup dan perawatan yang dilakukan dalam rumah setidaknya dapat mengurangi dampak demensia yang semakin parah.

Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi demensia yaitu:
  1. Diet. Tujuan diet adalah mengatur pola makan yang sehat agar memberikan dampak pada kesehatan otak melalui kesehatan jantung. Pola makan yang sehat untuk jantung dapat melindungi otak. Contoh makanan yang sehat untuk jantung adalah memperbanyak biji-bijian, buah-buahan dan sayuran.
  2. Memperbanyak komunikasi melalui kontak mata dan berbicara secara perlahan. Bisa juga menggunakan gestur tubuh untuk menyampaikan sesuatu.
  3. Latihan fisik/olahraga. Olahraga bermanfaat untuk menjaga kesehatan tubuh dan kesehatan otak. Olahraga dapat membantuk meningkatkan aliran darah dan oksigen ke dalam otak.
  4. Jaga gaya hidup seimbang. Gaya hidup seimbang dengan cara tidur yang cukup, melakukan aktivitas sehari-hari yang menyenangkan, olahraga yang teratur dan pola makan yang sehat. 

Perilaku Wandering

Lanjut ke bagian kedua, saya akan masuk ke pembahasan selanjutnya mengenai perilaku wandering.

Pernahkah anda mendengar perilaku wandering sebelumnya? Di awal sudah saya ulas sedikit bahwa  perilaku wandering merupakan kelainan perilaku pada lansia yang melakukan gerakan-gerakan tanpa tujuan yang jelas seperti mondar-mandir, melakukan gerakan yang berulang-ulang, bahkan ada yang kabur dari rumah.

Perilaku wandering sering didefinisikan sebagai gerakan tanpa tujuan yang ditunjukkan dalam bentuk berkeliaran, biasanya terjadi pada lansia yang menderita demensia. Namun, ada sebagian peneliti yang menganggap bahwa perilaku wandering memiliki tujuan yang jelas yaitu ambulasi atau gerakan yang diarahkan. 

Misalnya ketika seorang lansia demensia yang sedang lapar maka ia akan bergerak untuk mencari makanan. Proses mencari makanan tersebut berarti bahwa perilaku wandering ini memiliki tujuan yang jelas. 

Jadi, perilaku wandering ini memiliki dua makna yaitu memiliki tujuan yang jelas dan tidak memiliki tujuan. Tetapi, keduanya menunjukkan bahwa perilaku wandering ini dilakukan secara tidak sadar.

Pola Perilaku Wandering

Para peneliti memberikan konsep perilaku wandering yang berbeda-beda. Martino-Saltzman dkk (1991) mengkonsepkan pola perilaku wandering pada lansia demensia sebagai berikut.
  1. Pola geografis langsung yaitu gerakan lurus ke depan ke tujuan.
  2. Gerakan memukul-mukul
  3. Mondar-mandir yaitu gerakan maju dan mundur diantara dua titik.
  4. Gerakan acak yaitu gerakan serampangan yang dilakukan secara tidak berurutan.
Sedangkan, Hussia (1987) mengidentifikasi pola perilaku wandering menjadi beberapa pola yaitu.
  1. Akathisiac. Misalnya gerakan mondar mandir dan gelisah yang disebabkan oleh neuroleptik yaitu obat psikotropika yang bekerja mengatasi gejala-gejala psikotik.
  2.  Exit-seeker. Ini biasanya terjadi pada penghuni baru panti werdha yang berusaha kabur dari lembaga padahal kondisi pintu terkunci.
  3. Stimulator-self. Misalnya memutar-mutar tombol pintu dengan tempo tertentu yang dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang.
  4. Modelers. Orang yang biasanya mengikuti atau menandai bayangan-bayangan orang lain.

Profil Wanderer

Lansia yang mengalami perilaku wandering disebut dengan wanderer. Maksud dari profil wanderer disini untuk mengetahui pada siapa saja perilaku wandering biasa terjadi.

Penelitian Algase (1992) terhadap 163 penghuni panti jompo menunjukkan bahwa wanderer memiliki lebih banyak kerusakan kognitif dan kinerja yang lebih buruk pada semua dimensi kognitif seperti pemikiran abstrak, bahasa, penilaian dan keterampilan spasial daripada non-wanderer.

Artinya, kerusakan kognitif lebih banyak ditemukan pada lansia yang memiliki gangguan perilaku wandering daripada lansia yang tidak memiliki gangguan perilaku tersebut.

Schreiner (2000) dalam penelitiannya menemukan  bahwa usia berkorelasi negatif dengan gangguan perilaku wandering. Schreiner melakukan penelitian di salah satu panti jompo yang ada di Jepang.

Ia menemukan bahwa perilaku wandering memuncak pada usia 74 tahun dan kemudian mulai menurun meskipun korelasinya negatif atau tidak terlalu berpengaruh.

Dalam sebuah penelitian cross-sectional, kasus terkontrol dari 638 pasien rawat jalan dengan demensia menemukan bahwa pasien dengan gangguan tidur memiliki kecenderungan gangguan perilaku wandering. 

Beberapa peneliti menganggap perilaku wandering lazim ditemui pada pria karena ketika menghadapi situasi yang menganggu seperti rasa cemas maka pria lebih merespon secara fisi yaitu dengan perilaku wandering (mondar-mandir).  Meskipun hubungannya tidak terlalu signifikan.

Jika kita simpulkan, maka perilaku wandering biasanya terjadi pada lansia yang memiliki kerusakan kognitif pada usia puncak 74 tahun. Selain itu, wandering biasa terjadi pada lansia yang memiliki gangguan tidur dan terjadi pada pria yang merespon sesuatu secara fisik.

Hipotesis dan Etiologi Wandering  

Etiologi adalah suatu penyakit yang tidak dapat ditentukan dan diketahui secara pasti. Jadi, etiologi tentang perilaku wandering masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan. Mengapa demikian? karena gangguan perilaku wandering tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi dan pada siapa biasanya terjadi. 

Meski demikian, para peneliti tetap saja memberikan berbagai hipotesis tentang kemungkinan terjadinya perilaku wandering. Pendekatan penyebab utama perilaku wandering dapat dilihat melalui tiga perspektif berikut. 

Perspektif Interaksi Biomedis

Meguro dkk (1996) meyakini bahwa ada kemungkinan tingkat metabolisme otak secara fungsional mungkin menjadi faktor yang menyebabkan perilaku wandering pada lansia demensia. Metabolisme otak bergantung pada pasokan glukosa dan oksiken. Jika terjadi penurunan glukosa dan oksigen maka akan menyebabkan depresi fungsi otak.

Perilaku wandering dikonseptualisasikan sebagai disfungsi motorik yang melibatkan gangguan dalam pemantauan diri. Misalnya, gangguan dalam kemampuan untuk melakukan suatu tindakan atau aktivitas seperti mencari kamar mandi juga dapat muncul sebagai perilaku wandering.

Perspektif Psikososial

Dalam perspektif psikososial, perilaku wandering sering dikonseptualisasikan sebagai ekspresi kebutuhan. Maksudnya, ketika ada lansia demensia mengalami gangguan perilaku wandering itu berarti ia sedang membutuhkan sesuatu. Kebutuhan tersebut bisa berupa makanan, jalan-jalan, berbicara dan sebagainya.


Synder dkk (1978) mengidentifikasi tiga faktor psikososial yang kemungkinan dapat mempengaruhi perilaku wandering diantaranya pola bertahan terhadap stress, peran kerja sebelumnya, dan kebutuhan akan keamanan. 

Rader dkk (1985) mengungkapkan bahwa perilaku wandering adalah sarana untuk mengurangi kesepian dan perpisahan. Ketika seorang wanderer mengalami kebingungan dengan lingkungan mereka, bisa saja mereka sedang mencari sesuatu atau seseorang yang akrab.

Oleh karena itu, perilaku wandering dapat dilihat sebagai hasil alami seorang lansia dalam proses mencari sebuah tempat yang aman dan mencari keakraban.

Perspektif Lingkungan

Perilaku wandering dianggap sebagai manifestasi perilaku yang dihasilkan dari interaksi pribadi dengan lingkungan.

Seorang lansia yang kognisinya terganggu sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Dalam penelitian observasional Cohen-Mansfield (1991), perilaku wandering justru lebih sering ditemukan pada lingkungan yang kondusif dengan tingkat kebisingan dan pencahayaan yang memadai.

Para peneliti berhipotesis bahwa koridor sebuah panti jompo menjadi tempat dimana perilaku wandering sering terjadi. Hal ini dikarenakan koridor menyediakan ruang terbuka untuk ambulasi (bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain).

Intervensi Perilaku Wandering

Intervensi dalam pelayanan sosial adalah suatu cara atau strategi dalam memberikan bantuan kepada orang lain baik individu, kelompok, maupun masyarakat. Intervensi perilaku wandering berarti suatu cara atau strategi untuk membantu lansia demensia yang mengalami gangguan perilaku wandering. 

Upaya mengatasi gangguan perilaku wandering telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Para peneliti telah mencoba obat-obatan, program kegiatan, modifikasi perilaku dan manipulasi lingkungan dalam mengelola perilaku wandering.

Intervensi perilaku wandering dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya yaitu intervensi perilaku dan intervensi lingkungan. 

Intervensi perilaku didasarkan pada prinsip bahwa semua perilaku dapat dipelajari. Perilaku dapat diperkuat atau diperlemah dengan bala bantuan yang positif atau negatif.  Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam rangka intervensi perilaku wandering yaitu
  1. Meyakinkan dimana keberadaan pasien/lansia demensia. Hal ini diperlukan agar kesadaran lansia tetap terjada.
  2. Berikan keleluasaan bergerak di dalam dan luar ruangan. Biarkan para lansia untuk bergerak semaunya tetapi dalam keadaan didampingi jangan sampai dibiarkan sepenuhnya.
  3. Menggunakan gelang pengenal. Tujuannya apabila ada lansia yang kabur dari rumah atau panti jompo, orang-orang dapat mengenalinya.
Selain intervensi perilaku, mengatasi perilaku wandering juga dapat dilakukan dengan cara intervensi lingkungan.  Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang aman bagi lansia yang mengalami gangguan perilaku wandering.

Intervensi lingkungan dilakukan dengan cara memanipulasi tempat tinggal lansia yang mengalami gangguan perilaku wandering. Lingkungan yang dimanipulasi harus fasilitatif dalam arti harus dapat memenuhi setiap kebutuhan penderita. 

Itulah sedikit penjelesan saya tentang Perilaku Wandering Pada Penderita Demensia. Pada intinya, perilaku wandering merupakan perilaku sulit ditentukan karena kita tidak mengetahui kapan datangnya dan apa penyebabnya. 

Penelitian yang telah ada hanya berupa hipotesis belaka. Perilaku wandering biasanya terjadi pada lansia yang mengalami kerusakan kognitif, memiliki gangguan tidur, terjadi pada pria, dan pada puncak usia 74 tahun.

Sekian tulisan kali ini. Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Gangguan Perilaku Wandering Pada Penderita Demensia"