Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangan Paksakan Anak Anda Untuk Belajar (Anak Usia 3-6 Tahun)

jangan paksakan anak anda untuk belajar
Belajar merupakan suatu kewajiban bagi semua orang baik itu anak-anak, remaja, maupun orangtua.

Secara umum, belajar adalah proses dimana individu dapat mengambil makna dari sebuah peristiwa yang telah terjadi. Dalam belajar terjadi sebuah internalisasi atau pemahaman suatu ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman hidup sehari-hari. 

Kegiatan belajar selalu ditandai adanya hubungan timbal balik antara orang yang sedang belajar (siswa) dan orang yang memberikan pelajaran meskipun interaksinya dilakukan secara langsung atau tidak langsung/melalui media.

Belajar itu fleksibel karena kita kadang-kadang menjadi siswa dan juga kadang-kadang menjadi guru. Hal ini dikarenakan sifat ilmu yang universal dan dapat diambil darimana saja dan dari siapa saja.

Oleh karena itu, belajar tidak selalu terjadi di dalam lingkungan sekolah, melainkan di seluruh tempat dimana kita hidup, kita akan dapat mengambil pelajaran.

Bahkan jika kita hidup sendirian di hutan belantara pun kita masih dapat belajar yaitu belajar untuk bertahan hidup (survival).

Namun, jika latarnya sebuah keluarga maka proses pembelajaran terjadi diantara anggota keluarga itu sendiri.

Pembelajaran terjadi antara ayah dan ibu sebagai orangtua, maupun adik dan kakak sebagai anak. Akan tetapi, pembelajaran yang sering terjadi yaitu antara orangtua dan anak.

Dalam keluarga, orangtua berperan sebagai guru dan anak berperan sebagai siswa. Orangtua merupakan pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Hal yang pertama kali dipelajari anak adalah belajar bagaimana cara berjalan dan juga bagaimana cara berbicara. 

Baru setelah usia 3-6 tahun atau masa pra sekolah anak diberikan pembelajaran logika. Anak diajarkan membaca, menulis dan berhitung meskipun hal tersebut diberikan melalui permainan. 

Dari sini keprihatinan saya muncul, tidak sedikit orangtua yang memaksa anak-anaknya untuk dapat membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Para orangtua senantiasa melakukan berbagai cara agar anaknya menguasai calistung tersebut termasuk dengan cara paksaan.

Ini hal yang keliru, para orangtua harusnya mengetahui kalau dunia anak khususnya anak prasekolah adalah dunia bermain. Orangtua harusnya mengetahui cara belajar yang efektif bagi anak yaitu melalui permainan yang di stimulasi oleh Alat Permainan Edukatif (APE).

Banyak jenis APE yang dapat merangsang kemampuan verbal, sosial, dan matematis-logis sehingga anak nantinya menguasai kemampuan calistung. Misalnya melalui puzzle, boneka jari untuk bercerita, balok alfabet maupun kartu bilangan. Orangtua seharusnya  memiliki jenis APE tersebut di rumahnya tujuannya tentu untuk belajar pada anak-anak.

Sedikit berbagi pengalaman, saya memiliki tetangga yang memiliki anak usia prasekolah (Taman Kanak-kanak).  Kita tahu bahwa di Taman Kanak-kanak seharusnya dipenuhi dengan permainan, bernyanyi, dan bermain dengan teman sebayanya. 

Namun, tetangga saya itu malah menambah beban anaknya karena dituntut untuk menguasai calistung sebelum memasuki sekolah dasar. Ia kadang memberikan hafalan untuk anaknya seperti menyebutkan huruf abjad dari A-Z, menghitung dari 1-100, dan lain-lain. Jika anaknya tidak bisa, maka akan diberi hukuman.

Sepintas memang tidak ada yang salah apabila orangtua menginginkan anaknya bisa menguasai calistung. Tetapi, hal tersebut menjadi salah ketika anak dituntut dan dipaksa bahkan sampai diberikan hukuman fisik jika tidak dapat melakukannya.

Kemampuan setiap manusia itu berbeda-beda dalam memahami angka dan logika, jika orang lain bisa melakukannya dengan mudah berarti itu kelebihan baginya. Jika kita punya anak usia prasekolah dan sulit memahami angka dan logika maka jangan dipaksakan karena akan berpengaruh pada masa dewasanya. Gunakanlah cara/metode yang berbeda yang disukai oleh anak tersebut.

Anak bukan berarti tidak bisa, hanya saja terlambat untuk memahami sesuatu. Maka dari itu, gunakanlah cara yang lain untuk mempercepatnya.

Begitu pun ketika memasuki sekolah formal (SD, SMP, SMA). Jangan paksakan anak untuk harus selalu meraih ranking 1  di kelasnya. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kemampuan dan kecerdasan setiap manusia itu beda-beda. Berikanlah pelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Bukan memaksakan pelajaran manusia dewasa ke dalam dunia anak-anak.

Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin mengutip penggalan sebuah buku yang berjudul Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global) karya Doni Koesoema Albertus.

Dulu, pada era aliran positivisme tepatnya pada masa rennaisans paruh kedua abad ke-14, anak-anak dianggap sebagai makhluk kecil yang dipersiapkan untuk menjadi manusia dewasa yang nantinya akan terlibat dalam masyarakat.

Oleh karena itu, pendidikan tak lain dianggap sebagai latihan untuk hidup menjadi orang dewasa dengan memaksakan gambaran dan cita-cita kaum dewasa dalam benak dan otak anak kecil.

Namun, revolusi kopernikan pedagogi membalik semua pernyataan itu yang menganggap anak sebagai 'matahari' dimana segala pendekatan tentang pendidikan berkitar mengelilinginya.

Anak bukan dianggap sebagai makhluk kecil yang belum dewasa. Kini anak-anak dipandang memiliki dinamika sendiri yang sesuai dan selaras dengan tahap perkembangan natural dalam dirinya.

Memaksakan cita-cita orang dewasa dalam benak anak-anak merupakan suatu perusakan jiwa, sebab dunia itu bukan milik mereka. Dunia anak adalah dunia permainan, bukan imitasi dunia orang dewasa. Maria Montessori pun menyatakan bahwa pendidikan lebih menghargai dinamika perkembangan anak-anak melalui permainan. 

Semoga bermanfaat. Keep Joyful Learning.

Salam Sejahtera.

Posting Komentar untuk "Jangan Paksakan Anak Anda Untuk Belajar (Anak Usia 3-6 Tahun)"